Sunday, August 4, 2013

Sang Pecundang

Aku telah menikah lebih dari 8 tahun, istriku Erni adalah seorang wanita yang cantik dan menggairahkan. Semua yang dapat kugambarkan tentang sosoknya hanyalah, aku tak mungkin bisa mendapatkan seorang pasangan hidup sebaik dia.

Akhir-akhir ini kesibukanku di kantor membuat kehidupan rumah tanggaku sedikit tergoncang, pagi-pagi sekali sudah berangkat dan pulang sudah larut malam. Erni tak bekerja, dia hanya mengurus rumah, jadi bisa dikatakan dia sendirian saja di rumah tanpa teman, tanpa pembantu selama kutinggal kerja. Tapi terkadang dia pergi keluar dengan teman-temannya, tapi dia selalu menghubungiku lewat telepon sebelum pergi.

Hari Rabu, pekerjaanku di kantor selesai lebih awal, dan ingin pulang dan mengajak Erni keluar untuk menebus semua waktuku untuknya. Aku meninggalkan kantor sebelum jam makan siang dan memberitahukan pada sekretarisku bahwa aku tidak akan kembali ke kantor lagi hari ini.

Kupacu mobilku secepatnya agar segera sampai di rumah dan mungkin aku akan mendapatkan kenikmatan siang hari sebelum kami pergi keluar. Saat hampir tiba di rumahku, kulihat ada sebuah mobil yang diparkir di depan. Aku pikir itu mungkin milik temannya. Aku lalu keluar dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah. Kubuka pintu depan, sengaja aku tak mengeluarkan suara untuk mengejutkannya.

Di ruang tengah tak kujumpai siapa pun, lalu aku melangkah ke dapur, tapi tetap tak ada seorang pun kutemui. Mungkin mereka ada di kamar tidur, perempuan bisanya berada di sana untuk mencoba beberapa pakaian barunya. Semakin mendekat ke pintu kudengar suara, kucoba mencermati pendengaranku dan mencoba untuk mendengarkannya dengan seksama.

Ini adalah hari dimana aku berharap seharusnya berada di kantor saja. Begitu kuintip dari pinggir pintu yang sedikit terbuka, kusaksikan istriku berada dalam pelukan lelaki lain, istriku dalam posisi merangkak dengan batang penis lelaki itu terkubur dalam lubang anusnya..

"Oh bangsat, lebih keras lagi dong!" perintah istriku.
"Kamu menyukainya kan, jalang, kamu suka penisku dalam anusmu, iya kan?"
"Oh ya Bud, kamu tahu itu!"

Aku berdiri mematung di sana tanpa mampu bereaksi, terlalu shock untuk mengatakan atau melakukan sesuatu dan hanya menyaksikan pemandangan mengejutkan ini. Istriku, yang aku bersedia mati untuknya, sedang melakukan anal seks dengan lelaki ini, sebuah hal yang kuinginkan tetapi tak pernah mau dia lakukan bersamaku. Dan sekarang dia melakukannya dengan lelaki ini! Aku terpaku memandangnya mengayunkan bongkahan pantatnya yang indah, kepalanya menggantung ke bawah dan sekujur tubuhnya bermandikan keringat mengisyaratkan pada lelaki ini agar memberinya lebih lagi.

Air mata mengaburkan pandanganku dan kedua kakiku seakan direkat pada lantai membuatku tak bisa beranjak dari sana dan menyaksikan keseluruhan peristiwa ini. Serasa hancur hatiku saat lelaki itu menjambak rambutnya dan menarik kepalanya ke belakang dan memanggil istriku dengan sebutan 'jalang', dan memaksakan batang penisnya masuk ke dalam lubang anus istriku yang terlihat mengerut. Istriku memohon agar lebih dalam lagi dan pinggulnya menghantam berlawanan dengan pinggang lelaki ini.

Dengan tangan kanannya, lelaki itu menjangkau ke bawah tubuh istriku dan menggenggam payudaranya yang sekal, menjepit ujung puting susunya yang kecoklatan dengan keras sekali, jeritan yang keluar dari bibir istriku menandakan bahwa dia merasakan kesakitan. Kami tidak pernah bercinta dengan cara begitu, kami selalu melakukannya dengan penuh cinta, aku tak pernah ingin menyakitinya dan aku tak mengerti bagaimana dia bisa menyukai saat diperlakukan kasar seperti ini.

"Ya Budi, puaskan aku, beri aku apa yang tak dapat diberikan suamiku, kamu tahu betapa senangnya aku saat kamu melakukannya sayang!"

Lelaki ini semakin menarik rambutnya dengan keras dan juga menarik payudaranya ke samping hingga kupikir puting susunya akan terkoyak karenanya, tapi dari bibirnya malah keluar jeritan memohon lagi. Aku harap aku dapat menikmati hal ini dan dapat bergabung dengan mereka, tapi aku tak bisa.

Budi, itu nama lelaki ini yang kudengar disebutkan istriku, mengatakan padanya bahwa dia akan meraih orgasmenya, dan dia menarik keluar batang penisnya dari lubang anus istriku. Istriku memutar tubuhnya dengan cepat dan menaruh batang penisnya yang masih berlumuran cairan dari lubang anusnya sendiri itu ke dalam mulutnya, mulut yang sama yang aku suka menciumnya selama 8 tahun terakhir ini, 10 tahun jika kuhitung sejak kami pertama berkencan sewaktu kuliah dulu.

Hampir saja aku muntah begitu dia menelan penis kotornya itu ke dalam mulutnya dan menghisap spermanya begitu lelaki ini menyemburkan spermanya dengan hebat hingga tumpah sampai ke dagunya.

"Benar begitu penghisap penisku, hisap terus jalang, telan spermaku pelacurku."

Ingin rasanya kubunuh lelaki itu, bagaimana mungkin dia bisa memanggil wanita secantik ini dengan sebutan kotor begitu. Bagaimana bisa istriku membiarkannya memanggilnya dengan sebutan itu. Seperti seorang bodoh saja saat aku melihat dan mendengarkan aksi mereka saat istriku menyelesaikan hisapannya pada batang penis lelaki ini.

Dengan kasar dia menarik wajah istriku mendekat padanya untuk mencium bibirnya yang penuh. Memasukkan lidahnya ke dalam mulutnya saat istriku dengan senang menghisapnya. Tangan lelaki itu berada pada bongkahan pantat istriku, menekan tubuhnya agar merapat saat mereka berciuman layaknya sepasang remaja yang sedang dimabuk cinta.

Akhirnya aku baru bisa bergerak, dan aku berbalik lalu melangkah ke ruang keluarga kami, duduk di atas sofa sambil memegangi kepalaku, kedua sikuku bertumpu pada paha. Air mata meleleh membasahi wajahku mengingat segala peristiwa mengejutkan yang baru saja kusaksikan. Memikirkan tentang bagaimana dan apa yang membuat Erni melakukan perbuatan terkutuk ini padaku. Aku selalu memperlakukannya dengan penuh cinta dan kasih sayang, kami mempunyai kehidupan seks yang indah, setidaknya itu menurutku. Aku selalu melihatnya mendapatkan orgasme setiap kali kami bercinta.

Dia tak pernah menuntut padaku bahwa dia menginginkan lagi dan aku pasti akan memenuhinya. Apa yang membuatnya melakukan ini. Aku pikir aku akan melihat mereka keluar dari dalam kamar sebentar lagi, tapi aku salah. Aku tak ingin melihat apa yang mereka lakukan, tapi ada sesuatu dari dalam diriku yang mendorongku untuk kembali ke kamar itu. Saat aku kembali mengintip dari balik pintu, kedua kaki istriku berada di bahu lelaki ini dan dia sekarang sedang menyetubuhi vaginanya, lubang yang sama dimana kudapatkan kenikmatan selama 10 tahun. Tak dapat kupercaya pendengaranku akan kata-kata hina yang keluar dari mulut manis istriku.

"Oh ya, puaskan aku dengan penismu, isi mulutku lagi dengan spermamu. Lebih keras Budi, berikan yang aku mau, lebih keras lagi bangsat!!" Belum pernah kudengar dia berkata seperti ini sebelumnya.
"Ya jalang, milik siapa vagina lezat ini?"
"Oh milikmu Budi, semuanya milikmu sayang."

Setiap kata yang terucap seakan sebilah belati yang menghunjam ke hatiku, merobeknya menjadi berkeping-keping seiring pinggul istriku bergoyang mengiringi hentakan lelaki ini dengan gairah yang belum pernah kulihat darinya. Sebuah pemikiran melintas dalam benakku, aku senang, senang karena sampai dengan saat ini kami belum mempunyai seorang anak yang akan menemukan bahwa ibunya adalah seorang pelacur!

"Siapa yang dapat memuaskanmu, siapa yang mampu memenuhi keinginanmu?"
"Kamu Budi, hanya kamu yang bisa memberiku!"

Apa yang harus kulakukan, pergi, tetap di sini, melabrak mereka, atau hanya menghajar lelaki ini? Tak kulakukan apa pun, selain hanya melihat. Mungkin jika aku lebih dari seorang pria, atau setidaknya lebih dari seorang pria yang tega, aku akan melakukan sesuatu daripada hanya berdiri saja di sini. Seharusnya kulabrak mereka, menghajar mereka berdua, atau apa pun, tapi aku hanya menyaksikan perbuatan mereka dengan hati yang hancur berkeping-keping.

Nafsu istriku begitu besar dan lelaki itu memuaskannya, mereka bersetubuh seperti sepasang binatang di atas ranjang cinta kami. Bed covernya sudah sangat kusut seperti kedua pakaian mereka yang tercampak di lantai dalam pergulatan birahi mereka berdua. Kusaksikan batang penisnya yang keras ditarik hampir keluar seluruhnya dan dilesakkannya kembali dengan hentakan yang mampu membuat pinggul istriku terangkat dengan kedua pahanya yang terpentang lebar untuk menerima seluruh batang keras milik lelaki itu ke dalam vaginanya.

"Puaskan aku sayang, berikan penismu padaku. Jangan coba berhenti, jangan pernah berhenti!"

Kembali mereka berciuman dengan begitu bernafsu. Pinggul mereka saling menghantam berulang kali. Mereka tak menyadari kehadiranku di belakang mereka yang sebenarnya bahkan hanya dengan menolehkan kepalanya saja mereka akan dapat melihatku yang sedang berdiri mengintip dari balik pintu. Tapi mereka sedang sibuk dengan kegiatannya yang lebih penting sekarang, pendakian untuk sebuah orgasme lagi.

Sudah cukup apa yang kusaksikan, lebih dari apa yang ingin kulihat. Aku bebalik dan keluar dari rumah. Kukendarai mobil di bawah sinar mentari yang cerah sampai mataku terbakar, dari sinar mentari dan dari air mata. Kejadian yang baru saja kusaksikan berputar dalam benakku.

Aku berhenti pada sebuah kafe dan memesan segelas minuman yang paling keras. Kutatap jam di dinding hingga jarum jam menunjukkan pukul 7 malam, kembali ke mobilku dan pulang ke rumah kami, jika masih bisa disebut rumah kami sekarang.

Baru saja aku masuk ke dalam, aku langsung bertemu dengan Erni, dia hendak mencium bibirku, tapi kulengoskan mukaku.

"Ada yang salah, sayang?" tanyanya.
"Nggak, hanya capai saja!"

Kami melangkah ke meja makan dan saling berbincang sebentar, aku lebih pendiam daripada biasanya, dan dia berlagak seolah tak ada apa pun yang terjadi hari ini. Kuselesaikan makan malamku dan beranjak untuk mandi, berharap aku mampu mencuci ingatan mengerikan tentang istriku yang berselingkuh dengan lelaki lain dari benakku, tapi itu tak terjadi.

Aku naik ke pembaringan, tak dapat tidur dengan nyenyak karena ingatan akan istriku yang bertingkah seperti seorang pelacur yang haus akan batang penis sedang memuaskan lelaki bangsat yang bernama Budi. Memberinya apa yang seharusnya hanya untukku. Rasanya jarum jam tak akan pernah beranjak ke pukul 6 pagi agar aku dapat pergi dari sini dan merenung.

*****

Hari ini seakan berlalu dengan sangat lambat, akhirnya jam 11 siang tiba. Kukendarai mobilku dan kembali ke rumah. Kembali kulihat mobil Budi terparkir di depan rumah. Kemarahanku sekarang sudah melampaui batasnya. Dengan tergesa aku mesuk ke dalam rumah dan menemukan mereka berdua sedang bergulat di atas ranjang kami lagi. Dengan marah kuteriakkan padanya agar menjauh dari istriku dan mengusirnya keluar dari rumahku. Budi hanya tertawa dan dengan batang penis yang masih berlumuran dengan cairan istriku, dia mengenakan pakaiannya, sedangkan Erni berusaha untuk menjelaskan semuanya. Tak ada satu pun kata-kata yang ingin kudengar dari mulutnya.

Setelah Budi pergi, kemudian Erni menemuiku di meja makan.

"Erni, kenapa kamu lakukan semua ini? Apa yang terjadi?"
"Penyebabnya kamu! Kamu nggak pernah ada, kamu nggak pernah memperhatikanku, mengajakku keluar. Yang kamu lakukan hanya kerja, kerja, kerja! Persetan dengan semua itu. Aku menginginkan lebih dari itu dan Budi memberinya."
"Aku dapat memberimu lebih Erni, Aku akan memaafkanmu jika kamu menghentikan semua kegilaan ini. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu!" Dia memandang tajam ke arahku.
"Kamu boleh berkata sesukamu, aku tidak peduli. Kenyataannya kamu membuatku muak, kamu bukan seorang lelaki. Seorang lelaki akan membunuh pria yang berselingkuh dengan istrinya, tetapi kamu bahkan tak melakukan apa-apa. Kamu pecundang!"
"Tolong jangan lakukan ini Erni, kamu tahu betapa aku mencintaimu."
"Persetan dengan kamu!" dia meneriakiku, lalu menelepon Budi.
"Budi, jemput aku, sekarang juga!" dan membanting teleponnya.

Dia masuk ke dalam kamar dan tak lama kemudian keluar dengan membawa koper, lalu pergi untuk menunggu jemputan Budi. Lelaki bangsat ini datang tak lama berselang..

No comments:

Post a Comment